
Misteri Pembunuhan Theys Eluay
Misteri Pembunuhan Theys Eluay
Pada tanggal 10 November 2001, Theys Eluay dan sopirnya yang bernama Aristoteles Masoka dikabarkan hilang setelah diculik oleh orang tidak dikenal. Dortheys Hiyo Eluay atau akrab disapa Theys Eluay adalah Ketua Presidium Dewan Papua. Sehari setelah dikabarkan diculik, Theys Eluay ditemukan meninggal di dalam mobil yang terperosok ke jurang di dekat perbatasan Indonesia-Papua Niugini, sementara Aristoteles tidak pernah diketahui keberadaannya hingga kini.
Pada 2003, pengadilan terhadap kasus ini telah dilakukan dan pada 2018, pihak keluarga Theys meminta agar tragedi ini tidak lagi disebut kasus pelanggaran HAM serta tidak digunakan sebagai komoditas politik. Kendati demikian, menurut banyak pihak, Misteri Pembunuhan Theys Eluay dan hilangnya Aristoteles tergolong kejahatan HAM yang penyelesaiannya jauh dari keadilan.
Theys Eluay adalah salah satu tokoh Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada 1969, yang banyak berperan dalam integrasi Papua ke dalam Indonesia. Setelah itu, ia aktif berpolitik dengan menjadi anggota DPRD Provinsi Irian Jaya dari Partai Kristen Indonesia (Parkindo) hingga pindah ke Golkar pada tahun 1977. Pada 1980, Theys Eluay menjadi anggota Lembaga Musyawarah Adat (LMA) Papua, hingga akhirnya dipercaya menjadi pemimpinnya.
Menyusul lengsernya pemerintahan Soeharto dari kursi kepresidenan, LMA vokal menyuarakan tentang status politik Papua dan hak rakyatnya untuk menentukan nasib sendiri. Pada tahun 1999, Theys Eluay terpilih menjadi Ketua Presidium Dewan Papua (PDP), yang didirikan dengan dukungan presiden Indonesia saat itu, Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Theys kemudian mulai menyebut dirinya Pimpinan Besar Dewan Papua dan mengibarkan bendera Bintang Kejora Papua merdeka.
Konon ada beberapa faksi dalam Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang kurang suka dengan PDP karena ditakutkan mendorong lepas dan terpisahnya Papua dari NKRI. Kronologi pembunuhan Theys Eluay dan hilangnya Aristoteles Sesaat sebelum dikabarkan hilang dan diculik, Theys Eluay disebut menghadiri perayaan Hari Pahlawan di markas Komando Pasukan Khusus (Kopassus). Dalam perjalanan pulang dari acara tersebut, mobil Theys Eluay yang dikemudikan oleh Aristoteles sempat memberi tumpangan kepada petugas Kopassus.
Sehari kemudian, Theys Eluay ditemukan tewas di dalam mobilnya yang terperosok ke jurang di Skouw, posisinya tidak jauh dari perbatasan Indonesia-Papua Niugini. Adapun Aristoteles Masoka, sampai sekarang tidak pernah ditemukan. Dalam upaya penyelesaian kasus pembunuhan Theys Eluay dan hilangnya Aristoteles Masoka, tujuh anggota TNI dihadapkan ke pengadilan militer. Pada 5 Maret 2003, tujuh terdakwa disidangkan di Mahkamah Militer Tinggi III Surabaya.
Berikut ini tujuh terdakwa kasus pembunuhan Theys Eluay beserta tuntutannya.
Letkol. Inf. Hartomo dituntut 2 tahun penjara
Mayor. Inf. Donny Hutabarat dituntut 2 tahun 6 bulan penjara
Kapten. Inf. Rionardo dituntut 2 tahun penjara
Lettu. Inf. Agus Supriyanto dituntut 3 tahun penjara dan dipecat
Sertu Asrial dituntut 2 tahun penjara
Sertu Laurensius LI dituntut 2 tahun penjara
Praka Ahmad Zulfahmi dituntut 3 tahun penjara dan usulan dipecat
Dalam sidang, para terdakwa dinyatakan terbukti bersalah oleh Oditur Militer. Lettu Agus Supriyanto dan Praka Ahmad Zulfahmi merupakan pelaksana lapangan dalam operasi yang menyebabkan terbunuhnya Theys Eluay. Sedangkan Letkol Inf. Hartomo dan Mayor Inf. Hutabarat merupakan atasan terdakwa yang memberi perintah operasi tersebut. Dalam berkas dari Pengadilan Mahkamah Militer terungkap bahwa para terdakwa kasus pembunuhan Theys mengaku mereka sedang melaksanakan tugas negara.
Selain itu, ternyata ditemukan fakta bahwa Theys disiksa terlebih dulu sebelum dieksekusi. Pembunuhan Theys tidak bisa dilepaskan dari Surat Perintah Danjen Kopassus Mayjen Amirul Isnanini kepada Komandan Satgas Markas Tribuana untuk melakukan operasi intelijen, penyelidikan, pengamanan dan penggalangan. Hal itu terkait dokumen Departemen Dalam Negeri (Juni 2000) tentang rencana operasi pengondisian wilayah dan pengembangan jaringan komunikasi dalam menyikapi arah politik Papua untuk merdeka.
Menurut tuntutan Oditur Militer, Lettu Agus Supriyanto dan Praka Ahmad Zulfahmi tidak profesional dan salah menafsirkan perintah tersebut. Banyak pihak menilai bahwa tuntutan Oditur Militer sangat rendah, mengingat kasus ini memenuhi unsur pelanggaran HAM berat dan diduga keras sarat akan motif politik serta kepentingan. Elemen masyarakat sipil yang tergabung dalam Solidaritas Nasional untuk Papua (SNUP) menilai proses pengadilan hanya sebuah upaya memutus rantai komando. Selain itu, pengadilan bertentangan dengan prinsip imparsial karena dilakukan oleh institusi militer sendiri dan hanya digunakan untuk mengukuhkan impunitas aparat militer terlibat.
Tidak lagi disebut kasus pelanggaran HAM Pada 2014, Komnas HAM sempat membuka kembali kasus pembunuhan Theys Eluay dan hilangnya Aristoteles Masoka. Mengenai Aristoteles Masoka, yang belum ditemukan dan beredar isu telah mati dibunuh, masih dinyatakan sebagai kasus orang hilang dan perlu diungkap oleh negara. Pada tahun 2018, pihak keluarga Theys Eluay menyatakan telah memaafkan para pelaku pembunuhan.
Yanto Eluay selaku putra dari Theys Eluay dan juru bicara keluarganya, mengaku telah memaafkan pelaku pada peringatan 17 tahun meninggalnya Theys pada November 2018. Sikap tersebut dilatarbelakangi upaya menjunjung tinggi nilai perdamaian dan untuk lebih proaktif terlibat dalam pembangunan bangsa. Pihak keluarga Theys juga meminta agar tragedi ini tidak lagi disebut kasus pelanggaran HAM dan tidak digunakan sebagai komoditas politik. Komnas HAM menghormati keputusan keluarga Theys. Namun bagaimanapun juga sikap itu dinilai tidak lantas menggugurkan kewajiban negara untuk memberi keadilan bagi Theys dan menuntaskan kasus penghilangan paksa Aristoteles Masoka.
Leave a Reply